Pendidikan Kewarganegaraan (civic education) adalah suatu mata pelajaran dasar di sekolah yang dirancang untuk mempersiapkan warganegara muda, agar kelak setelah dewasa dapat berperan aktif dalam masyarakatnya.
Pendidikan kewarganegaraan (citizenship education), digunakan sebagai istilah yang memiliki pengertian yang lebih luas yang mencakup beberapa pengalaman di sekolah maupun diluar sekolah atau non-formal/informal yang terjadi dalam kaluarga, organisasi masyarakat, organisasi keagamaan, media, dll yang membantu membentuk totalitas warga bangsa.
Kemukakan visi dan misi PKn
Berdasarkan Keputusan Dirjen Dikti No. 43 / Dikti / Kep / 2006, terdapat visi dan misi Pendidikan Kewarganegaraan sebagai berikut:
a. Visi Pendidikan Kewarganegaraan di perguruan tinggi adalah merupakan sumber nilai dan pedoman dalam pengembangan dan penyelenggaraan program studi, guna mengantarkan mahasiswa mementapkan kepribadiannya sebagai manusia seutuhnya. Hal ini berdasarkan pada suatu realitas yang dihadapi, bahwa mahasiswa adalah sebagai generasi bangsa yang harus memiliki visi intelektual, religiuus, berkeadaban, berkemanusiaan dan cinta tanah air dan bangsanya.
b. Misi Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan tinggi adalah untuk membantu mahasiswa memantapkan kepribadiannya, agar secara konsisten mampu mewujudkan nilai-nilai dasar Pancasila, rasa kebangsaan dan cinta tanah air da;lam menguasai, menerapkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni dengan rasa tanggung jawab dan bermoral.
Kemukakan kurikulum PKn yang dipakai di SD sebelum KTSP
a. Civics (1959) periode ini berisikan seputar materi pemerintahan Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 termasuk kajian tata negara dan tata hukum.
b. Kewarganegaraan (1962) disiplin ilmu disini guna mengkaji sejarah, geografi, ekonomi, dan politik, pidato-pidato presiden, deklarasi hak asasi manusia, dan pengetahuan tentang Perserikatan Bangsa-Bangsa.
c. Pendidikan Kewargaan Negaraan (1968) di dalamnya tercakup sejarah Indonesia, geografi Indonesia, dan civics (d iterjemahkan sebagai pengetahuan kewargaan negara).
d. Pendidikan Moral Pancasila (1975) berorientasi pada value inculcation dengan muatan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945.
e. Pendidikan Pancasila Kewarganegaraan (1994) karakteristiknya didominasi oleh proses value incucation dan knowledge dissemination
Gambarkan komponen/watak yang baik (lickona)
a. moral knowing atau pengetahuan tentang moral, Ada enam aspek yang menjadi orientasi dari moral knowing yaitu : 1) kesadaran terhadap moral (moral awareness), 2) pengetahuan terhadap nilai moral (knowing moral values), 3) mengambil sikap pandangan (perspective taking), 4) memberikan penalaran moral (moral reasoning), 5) membuat keputusan (decision making), dan 6) menjadikan pengetahuan sebagai miliknya (self knowledge).
b. moral feeling atau perasaan tentang moral, Ada enam aspek yang menjadi orientasi dari moral feeling yaitu: 1) kata hati/suara hati (conscience, 2) harga diri (self esteem), 3) empati (emphaty), 4) mencintai kebajikan (loving the good),
5) pengedalian diri (self control), dan 6) kerendahan hati (humility).
c. moral action atau perbuatan bermoral, Ada tiga aspek yang menjadi indikator dari moral action, yaitu: 1) kompetensi (competence), 2) keinginan (will), 3) kebiasaan (habit).
Gambarkan bagaimana struktur kepemilikan nilai yang menghasilkan struktur social
Nilai menyimpan rahasia yang menarik untuk ditelaah lebih mendalam. Dalam proses kepemilikannya nilai perilaku tidak dapat dipisahkan dari keadaan lingkungan sekitar. Dari berbagai pandangan tentang klasifikasi nilai perlu dibahas nilai instrumental dan nilai terminal yang erat dengan budi pekerti karena memandang bahwa nilai-nilai pada diri manusia dapat ditunjukkan oleh cara bertingkah laku atau hasil tingkah laku.
1). Kebebasan-kebebasan dasar seperti kebebasan berpikir; pengembangan suara hati; 2). Kebebasan bergerak dan memilih pekerjaan; 3). Hak prerogratif atas kedudukan atau posisi yang menuntut tanggungjawab; 4). Pendapatan dan
Jelaskan tahapan-tahapan perkembangan moral (kholberg)
a. Pra-Konvensional
- tahap pertama (Orientasi kepatuhan dan hukuman), individu-individu memfokuskan diri pada konsekuensi langsung dari tindakan mereka yang dirasakan sendiri. Tahapan ini bisa dilihat sebagai sejenis otoriterisme.
- tahap dua (Orientasi minat pribadi ), penalaran tahap dua kurang menunjukkan perhatian pada kebutuhan orang lain, hanya sampai tahap bila kebutuhan itu juga berpengaruh terhadap kebutuhannya sendiri. Bagi mereka dari tahap dua, perpektif dunia dilihat sebagai sesuatu yang bersifat relatif secara moral.
b. Konvensional
- tahap tiga (Orientasi keserasian interpersonal dan konformitas/ Sikap anak baik), penalaran tahap tiga menilai moralitas dari suatu tindakan dengan mengevaluasi konsekuensinya dalam bentuk hubungan interpersonal, yang mulai menyertakan hal seperti rasa hormat, rasa terimakasih, dan golden rule.
- tahap empat (Orientasi otoritas dan pemeliharaan aturan social/ Moralitas hukum dan aturan), penalaran moral dalam tahap empat lebih dari sekedar kebutuhan akan penerimaan individual seperti dalam tahap tiga; kebutuhan masyarakat harus melebihi kebutuhan pribadi.
c. Pasca-Konvensional
- tahap lima (Orientasi kontrak social), penalaran tahap lima menyatakan bahwa individu dipandang sebagai memiliki pendapat-pendapat dan nilai-nilai yang berbeda, dan adalah penting bahwa mereka dihormati dan dihargai tanpa memihak.
- tahap enam (Prinsip etika universal), penalaran tahap enam menyatakan bahwa keberadaan hukum akan valid bila berdasar pada keadilan, dan komitmen terhadap keadilan juga menyertakan keharusan untuk tidak mematuhi hukum yang tidak adil. Oleh karena itu, untuk mengatasi hal ini, maka tindakan yang pantas diambil adalah melalui consensus atau pemufakatan bersama.
Apa arti penelitian otentik (keeping tarck, keeping up, funding out, dan summing up)
a. Penelusuran (keeping track), yaitu untuk menelusuri agar proses pembelajaran anak didik tetap sesuai dengan rencana.
b. Pengecekan (Cheking-up), yaitu untuk mengecek adakah kelemahan-kelemahan yang dialami anak dalam proses pembelajaran.
c. Pencarian (Finding-out), yaitu untuk mencari dan menentukan hal-hal yang menyebabkan terjadinya kelemahan dan kesalahan dalam proses pembelajaran.
d. Penyimpulan (Summing-up), yaitu untuk menyimpulkan apakah anak didik telah menguasai seluruh kompetensi dalam kurikulum atau belum.
Mengapa pembelajaran VCT dianggap unggul dalam pembelajaran afektif (prof. Kosasih Djahiri)
a. mampu membina dan mempribadikan nilai dan moral;
b. mampu mengklarifikasi dan mengungkapkan isi pesan materi yang disampaikan;
c. mampu mengklarifikasi dan menilai kualitas nilai moral diri siswa dan nilai moral dalam kehidupan nyata;
d. mampu mengundang, melibatkan, membina dan mengembangkan potensi diri siswa terutama potensi afektualnya;
e. mampu memberikan pengalaman belajar dalam berbagai kehidupan;
f. mampu menangkal, meniadakan mengintervensi dan menyubversi berbagai nilai moral naif yang ada dalam sistem nilai dan moral yang ada dalam diri seseorang;
g. menuntun dan memotivasi untuk hidup layak dan bermoral tinggi.
Jelaskan perbedaan belajar menurut Mohamad Ali, Bower Hilgard!
a. Muhammad Ali (1992:4) “Belajar adalah proses perubahan perilaku, akibat interaksi dengan lingkungan. Interaksi ini biasanya berlangsung secara sengaja”.
b. Bower Hilgard (1981) “belajar mengacu pada perubahan perilaku atau potensi individu senagai hasil dari pengalaman dan perubahan tersebut disebabkan oleh insting, k ematangan atau kelelahan, dan kebiasaan.
Posting Komentar