Jenis- jenis Makna
Karena bahasa itu digunakan untuk berbagai kegiatan dan keperluan dalam kehidupan bermasyarakat, maka makna bahasa itu pun menjadi bermacam-macam dilihat dari segi atau pandangan yang berbeda.
Berbagai nama jenis makna telah dikemukakan oleh orang dalam berbagai buku linguistik atau semantik.
Abdul Chaer (1994 : 289 – 296) membagi jenis-jenis makna sebagai berikut, “Makna leksikal, gramatikal, kontekstual, referensial dan non referensial, denotatif, konotatif, konseptual, asiosiatif, kata, istilah, idiom serta makna peribahasa”.
1. Makna Leksikal
Makna leksikal adalah makna yang sebenarnya, makna yang sesuai dengan hasil observasi indra kita, maka apa adanya, atau makna yang ada di dalam kamus.
Misalnya, leksem ‘kuda’ memiliki makna leksikal sejenis binatang berkaki empat yang biasa dikendarai, ‘pensil’ bermakna leksikal sejenis alat tulis yang terbuat dari kayu dan arang, dan ‘air’ bermakna leksikal sejenis barang cair yang biasa digunakan untuk keperluan sehari-hari.
2. Makna Gramatikal
Makna gramatikal baru ada kalau terjadi proses gramatikal seperti afiksasi, reduplikasi, komposisi atau kalimatisasi. Umpamanya, dalam proses aplikasi prefix ber- dengan baju melahirkan makna gramatikal ‘mengenakan atau memakai baju’, dengan dasar kuda melahirkan makna gramatikal ‘mengendarai kuda’. Contoh lain, proses komposisi dasar sate dengan dasar yang melahirkan makna gramatikal ‘asal’, dengan dasar lontong melahirkan makna gramatikal ‘bercampur’. Sintaksisasi kata- kata adik, menendang, dan bola menjadi kalimat adik menendang bola melahirkan makna gramatikal ; adik bermakna ‘pelaku’, menendang bermakna ‘aktif’, dan bola bermakna ‘sasaran’.
3. Makna Kontekstual
Makna kontekstual adalah makna sebuah laksem atau kata yang berada di dalam suatu konteks. Misalnya, makna konteks kata kepala pada kalimat-kalimat berikut:
a. Rambut di kepala nenek belum ada yang putih.
b. Sebagai kepala sekolah dia harus menegur murid itu.
c. Nomor teleponnya ada pada kepala surat itu.
d. Kepala paku dan kepala jarum tidak sama bentuknya.
Makna konteks dapat juga berkenaan dengan situasinya yakni tempat, waktu, dan lingkungan penggunaan bahasa itu. Contohnya : “Tiga kali empat berapa?”
Jika dilontarkan di depan kelas tiga SD sewaktu mata pelajaran matematika berlangsung. Tentu dijawab dua belas atau mungkin tiga belas. Namun kalau pertanyaan itu dilontarkan kepada tukang photo, maka pertanyaan itu mungkin akan ditanya dua ratus atau tiga ratus, mengapa begitu? Sebab pertanyaan itu mengacu pada biaya pembuatan pas photo yang berukuran tiga kali empat centimeter.
4. Makna Referensial
Sebuah kata disebut bermakna referensial kalau ada referensinya, atau acuannya. Kata-kata seperti ‘kuda’. disebut bermakna referensial kalau ada referensinya, atau acuannya. Kata-kata seperti ‘kuda’, ‘merah’, dan ‘gambar’ adalah termasuk kata-kata yang bermakna referensial. Kata-kata seperti, dan, atau dan karena adalah termasuk kata-kata yang tidak bermakna referensial karena kata-kata itu tidak mempunyai referens.
Berkenaan dengan acuan ini ada sejumlah kata, yang disebut kata-kata deiktik, yang acuannya tidak menetap pada satu wujud, melainkan dapat berpindah dari wujud yang satu kepada wujud ke lain. Kata-kata yang deiktik ini adalah kata-kata seperti pronomina, misalnya dia, saya, kamu ; kata-kata yang menyatakan ruang, misalnya di sini, di sana, dan di situ ; kata-kata yang menyatakan waktu, seperti sekarang, besok dan nanti ; kata-kata yang disebut kata petunjuk, misalnya ini dan itu.
Contoh pronomina kata saya pada kalimat berikut yang acuannya tidak sama ;
a. “Tadi pagi saya bertemu dengan pak Ahmad”, kata Ani kepada Ali.
b. “O, ya?”, sahut Ali, “Saya juga bertemu beliau tadi pagi”.
c. “Dimana kalian bertemu beliau?”, tanya Amir, “Saya sudah lama tidak jumpa dengan beliau.
Pada kalimat (a) kata saya mengacu kepada Ani, pada kalmat (b) mengacu pada Ali, dan pada kalimat (c) mengacu pada Amir. Contoh lain, kata di sini pada kalimat (d) acuannya juga tidak sama dengan kata di sini pada (e).
d. “Tadi saya lihat pak Ahmad duduk di sini sekarang dia kemana?”, tanya pak Rasyid kepada mahasiswa itu.
e. “Kami di sini memang bertindak tegas terhadap para penjahat itu”, kata Gubernur DKI kepada para wartawan dari luar negeri itu.
Kata di sini pada kalimat (d) acuannya adalah sebuah tempat duduk, tetapi pada kalimat (e) acuannya adalah satu wilayah DKI Jakarta Raya.
5. Makna Denotatif
Makna denotatif adalah makna asli, makna asal, atau makna sebenarnya yang dimiliki oleh sebuah kata. Umpamanya, kata kurus bermakna denotatif yang mana artinya ‘keadaan tubuh seseorang yang lebih kecil dari ukuran yang normal’. Kata bunga bermakna denotatif yaitu ‘bunga yang seperti kita di taman bunga’.
6. Makna Konotatif
Makna konotatif adalah makna lain yang ditambahkan pada makna denotative tadi yang berhubungan dengan nilai rasa dari orang atau kelompok orang yang menggunakan kata tersebut. Umpamanya kata kurus pada contoh di atas, berkonotasi netral, artinya tidak memiliki nilai rasa yang mengenakkan. Tetapi ramping, yaitu sebenarnya bersinomin dengan kata kurus itu memiliki konotasi positif, nilai rasa yang mengenakkan ; orang akan senang kalau dikatakan ramping. Sebaliknya, kata kerempeng, yang sebenarnya juga bersinonim dengan kata kurus dan ramping, mempunyai konotasi yang negatif, nilai rasa yang tidak enak, orang akan tidak enak kalau dikatakan tubuhnya kerempeng. Dan juga kata bunga seperti contoh di atas, jika dikatakan “Si Ida adalah bunga kampung kami”, ternyata makna bunga tak sama lagi dengan makna semula. Sifat bunga yang indah itu dipindahkan kepada si Ida yang cantik. Dengan kata lain, orang lain melukiskan kecantikan si ida yang bak bunga.
7. Makna Konseptual
Makna Konseptual adalah makna yang dimiliki oleh sebuah leksem terlepas dari konteks atau asosiasi apa pun. Kata kuda memiliki makna konseptual ‘sejenis binatang berkaki empat yang biasa dikendarai’, dan kata rumah memiliki makna konseptual ‘bangunan tempat tinggal manusia’.
8. Makna Asosiatif
Makna Asosiatif adalah makna yang dimiliki sebuah leksem atau kata berkenaan dengan adanya hubungan kata itu dengan sesuatu yang berada di luar bahasa. Misalnya, kata melati berasosiasi dengan sesuatu yang suci atau kesucian, kata merah berasosiasi dengan berani dan kata buaya berasosiasi dengan jahat atau kejahatan. Makna asosiatif ini sebenarnya sama dengan lambang atau perlambangan yang digunakan oleh suatu masyarakat pengguna bahasa untuk menyatakan konsep lain, yang mempunyai kemripinan dengan sifat keadaan, atau ciri yang ada konsep asal kata tersebut.
Jadi, kata melati yang bermakna konseptual ‘sejenis bunga kecil-kecil berwarna putih dan berbau harum’ digunakan utnuk menyatakan perlambang kesucian, kata merah yang bermakna konseptual ‘sejenis warna terang menyolok’ digunakan utnuk perlambang keberanian, dan buaya kata buaya yang bermakna konseptual ‘sejenis binatang reptil buas yang memakan binatang apa saja termasuk bangkai digunakan untuk melambangkan kejahatan atau penjahat.
Pendapat Leech (1976) seperti yang dikutip Abdul Chaer (1994 : 294), tentang makna asosiasi menyatakan bahwa, “Dalam makna asosiasi ini juga dimasukkan juga yang disebut makna konotatif, makna stilistika, makna efektif dan makna kolakatif”.
Makna stilistika berkenaan dengan pembedaan kata sehubungan dengan perbedaan sosial atau bidang kegiatan. Misalnya, dokter mengatakan penyakitnya akan diangkat maka yang dimaksud adalah dioperasi. Orang di bengkel mengatakan mesin mobil itu diangkat, maka yang dimaksud adalah diperbaiki. Makna efektif yakni makna yang menimbulkan rasa bagi pendengar. Jika seseorang menghardik kita meskipun dengan kata-kata biasa kita tentu merasakan sesuatu yang agak lain kalau kata-kata itu diucapkan dengan nada biasa.
Contoh,
a. Duduk! (dengan suara pelan)
b. Duduk! (dengan suara keras)
Makna kolakatif berkenaan dengan ciri-ciri makna tertentu yang dimiliki sebuah kata dari sejumlah kata yang bersinonim, sehingga kata tersebut hanya cocok untuk digunakan berpasangan dengan kata tertentu lainnya. Misalnya, kata tampan sesungguhnya bersinonim dengan kata-kata cantik dan indah, hanya cocok atau hanya berkolokasi dengan kata yang memiliki ciri pria. Maka, kita dapat mengatakan pemuda tampan, tetapi tidak dapat mengatakan gadis tampan. Jadi tampan tidak berkolokasi dengan kata gadis.
9. Makna Kata
Setiap kata atau leksem memiliki makna. Pada awalnya, makna yang dimiliki sebuah kata adalah makna leksikal, makna denotatif atau makna konseptual. Namun dalam penggunaan makna kata itu baru menjadi jelas jika kata itu sudah berada di dalam konteks kalimatnya atau konteks situasinya. Kita belum tahu makna kata jatuh sebelum kata itu berada di dalam konteksnya (seperti pada contoh 2.2.1 a-d). Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa makna kata masih bersifat umum, kasar, dan tidak jelas. Kata tangan dan lengan sebagai kata, maknanya lazim dianggap sama, seperti pada contoh (a) dan (b) berikut ;
a. Tangannya luka kena pecahan kaca.
b. Lengannya luka kena pecahan kaca.
Jadi, kata tangan dan kata lengan pada kedua kalimat di atas adalah bersinonim atau bemakna sama.
10. Makna Istilah
Yang disebut istilah adalah yang mempunyai makna yang pasti, jelas, dantidak meragukan, meskipun tanpa konteks kalimat. Yang perlu dingat adalah bahwa sebuah istilah hanya digunakan pada bidang keilmuan atau kegiatan tertentu. Umpamanya, kata tangan dan kata lengan yang menjadi contoh di atas. Kedua kataitu dalam bidang kedokteran mempunyai makna yang berbeda. Tangan bermakna ‘bagian dari pergelangan sampai ke jari tangan’, sedangkan lengan adalah ‘bagian dari pergelengan sampai ke pangkal bahu’. Jadi, kata tangan dan lengan sebagai istilah dalam ilmu kedokteran tidak bersinonim, karena maknanya berbeda.
Dalam perkembangan bahasa memang ada sejumlah istilah, yang karena sering digunakan, lalu menjadi kosa kata umum. Artinya, istilah itu tidak hanya digunakan dalam bidang keilmuannya, tetapi juga telah digunakan secara umum, diluar bidangnya. Dalam bahasa Indonesia, misalnya istilah spiral, virus, akomodasitelah menjadi kosa kata umum, tetapi istilah alomorf, alofon, morfem masih tetapsebagai istilah dalam bidangnya, belum menjadi kosa kata umum.
11. Makna Idiom
Idiom adalah satuan ujaran yang maknanya tidak dapat diramalkan darimakna unsur-unsurnya, baik secara leksikal maupun secara gramatikal. Umpamanya,secara gramatikal bentuk menjual rumah bermakna ‘yang menjual menerima uangdan yang membeli menerima rumahnya, tetapi dalam bahasa Indonesia bentukmenjual gigi tidak memiliki makna seperti itu, melainkan bermakna ‘tertawa keras-keras. Jadi, makna seperti yang dimiliki bentuk menjual gigi itulah yang disebutmakna idiomatikal. Contoh lain dari idiom adalah membanting tulang dengan makna ‘bekerja keras’, meja hijau dengan makna ‘pengadilan’.
12. Makna Pribahasa
Berbeda dengan idiom yang maknanya tidak dapat diramalkan secara leksikal maupun gramatikal, maka yang disebut pribahasa memiliki makna yang masih dapat ditelusuri atau dilacak dari makna unsur-unsurnya. Karena adanya asosiasi antaramakna asli dengan maknanya sebagai pribahasa. Umpamanya, pribahasa sepertianjing dan kucing yang bermakna ‘ihwal dua orang yang tidak pernah akur’. Maknaini memiliki asosiasi, bahwa binatang yang namanya anjing dan kucing jika bersuaramemang selalu berkelahi, tidak pernah damai. Contoh lain, pribahasa tong kosongnyaring bunyinya yang bermakna orang yang banyak cakapnya biasanya tidakberilmu. Makna ini dapat ditarik dari asosiasi tong yang berisi bila dipukul tidakmengeluarkan bunyi, tetapi tong yang kosong akan mengeluarkan bunyi yang kerasdan nyaring.
Fauziah. (2006). Perubahan Makna Leksikal Kata Kerja Bahasa Indonesia dari Bahasa Arab.