1. Nilai-nilai Spiritual dalam Sistem Pendidikan Nasional
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menegaskan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Rumusan tujuan tersebut menyiratkan pengembangan potensi pesrta didik dalam bidang spiritual menjadi tujuan utama.
Adapun rumusan tujuan pendidikan nasional yang menjadikan pencapaian dalam bidang spiritual sebagai prioritas disebabkan karena bangsa Indonesia dibangun berdasarkan sendi-sendi agama. Meskipun para pemimpin Indonesia modern tidak menyatakan indonesia sebagai “negara agamis” namun mereka juga tidak mau mengikuti pola ideologi negara-negara barat yang bersifat liberalistis dan sekuler (Dhofier, 1944:171).
Pengaruh agama di Indonesia nampak terlihat jelas dalam dasar dan falsafah negara. Dalam pembukaan UUD 1945 paragraf 3 dinyatakan: “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan di dorong oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya. “Begitu pula dalam pancasila, dimana sila pertama berbunyi: “Ketuhanan Yang Maha Esa. “Baik dalam pembukaan UUD 1945 maupun pancasila terkandung pemahaman tentang pentingnya nilai-nilai spiritual bagi kehidupan bangsa Indonesia.
Jika dirunut lebih jauh lagi, nampak semakin jelas peranan agama dalam pembentukan bangsa Indonesia. Tiga peristiwa besar yaitu perang Diponegoro, perang Paderi, dan perang Aceh merupakan bukti peranan agama dalam melawan penjajah (Abdullah, 1987: 6-9). Begitu pula pada saat perang kemerdekaan dan pemberantasan G. 30 S PKI, semangat keagamaan (jihad) merupakan motivasi yang sangat besar yang dapat mendorong rakyat untuk berjuang.
Kesadaran terhadap pentingnya kehidupan agama bagi bangsa Indonesia diwujudkan dalam pemberian materi agama sejak sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Selain itu, lembaga kemasyarakatan dalam bentuk sekolah agama maupun pesantren memfasilitasi proses pembelajaran agama. Semuanya dilakukan karena kesadaran bahwa pembangunan bangsa akan menuai keberhasilan jika para pelakunya memiliki kesadaran agama yang baik.
2. Nilai-niali historis pembentukan pesantren
Pesantren adalah lembaga pendidikan islam tertua di Indonesia. Pesantren atau santri diduga berasal dari bahasa Tamil yang berarti “guru mengaji”. Sumber lain menyebutkan bahwa kata itu berasal dari bahasa India shastri dari akar kata shastra yang berarti “buku-buku suci”, “buku-buku agama”, atau “buku-buku tentang ilmu pengetahuan” (Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, 1999:99).
Ziemek (1986:98-99) mengungkapkan bahwa pesantren terdiri dari kata asal “santri” yang memiliki awalan “pe” dan akhiran “an”, yang menunjukkan tempat. Adapun “santri” merupkaan ikatan kata “sant” yang berarti manusia baik, yang dihubungkan dengan “tra” yang berarti suka menolong. Dengan demikian pesantren berarti tempat pendidikan manusia baik-baik.
Geertz (Ziemek, 1986:99) menjelaskan bahwa santri memiliki arti sempit dan luas. Santri secara sempit adalah seorang pelajar sekolah agama yang disebut pesantren. Adapun dalam arti yang lebih luas, kata santri mengacu kepada seorang anggota bagian penduduk jawa yang menganut islam dengan sungguh-sungguh. Dari pengertian Geertz dapat ditarik pemahaman bahwa santri hanya dikenal dalam struktur masyarakat jawa dan sekaligus pembeda dari masyarakat yang disebut abangan dan priyayi.
Pesantren diduga telah berdiri sejak tahun 1062. Dasar dugaan ini adalah ditemukannya pesantren Jan Tampes II di Pamekasan Madura (Mastuhu, 1994:19). Dugaan ini diragukan kebenarannya karena jika ada pesantren Jan Tampes II maka tentu ada pesantren Jan Tampes I yang usianya lebih tua.
Lebih lanjut, Mastuhu (1994:19-20) berpendapat lembaga pendidikan pesantren muncul seiring dengan masuknya islam ke Indonesia, yaitu sekitar abad ke-11 atau ke-13. Bukti bahwa islam telah masuk pada abad tersebut adalah dengan ditemukannya batu nisan atas nama Fatimah binti Maemun (nama yang mengisyaratkan sebagai seorang muslimah) yang wafat pada tahun 474 H. Atau tahun 1082 di Leran Gresik dan makam Malikus Saleh di Sumatera yang bertarikh ke abad -13. Keterkaitan pesantren dengan kemunculan islam di Indonesia diduga karena pesantren merupakan lembaga penyebaran islam. Oleh karena itu, usia dari lembaga tersebut di duga tidak jauh berbeda dengan usia kemunculan islam itu sendiri.
Terlepas dari kontroversi mengenai awal keberadaan pesantren, realitas bahwa pesantren telah dikenal di bumi nusantara ini dalam periode abad 13-17 M. Adalah tidak bisa dipungkiri. Hal itu didasarkan kepada bukti-bukti yang telah dikemukakan diatas.
Adapun latar belakang kemunculan lembaga pendidikan pesantren, pada dasarnya adalah untuk mempersiapkan kader-kader da’i yang akan menyebarkan ajaran islam di tengah masyarakatnya. Hal ni sejalan dengan firman Allah swt. Dalam surat at-Taubah ayat 122: “...mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”. Dengan demikian, latar belakang kemunculan pesantren sangat syarat dengan nilai-niali religius. Oleh karena itu, dapat dipahami jika kemudian pesantren dapat mempertahankan dirinya dalam mengahdapi perubahan zaman.
Sistem pembelajaran yang digunakan di pesantren memiliki kekhasan tersendiri. Bahkan, sistem tersebut dapat dijumpai di negara-negara islam. Diduga sistem tersebut merupakan rekayasa umat islam Indonesia terhadap sistem pendidikan Agama Jawa (Djamari, 1985: 51-52). Hal ini didasarkan pada fakta bahwa jauh sebelum datangnya Islam ke Indonesia, telah terdapat tempat-tempat penyebaran agama Hindu yang disebut dengan pesantren. Fakta lain juga menunjukkan bahwa lembaga pendidikan dengan model pesantren, tidak ditemukan di negara-negara Islam yang lainnya. Akan tetapi, dia banyak ditemukan di dalam masyarakat Hindu dan Budha, seperti India, Myanmar dan Thailand.
Perkembangan pesantren berkembang sangat pesat terutama pada masa kolonialisme dan pasca perang kemerdekaan. Berdasarkan data dari Departemen Agama tahun 1984/1985 dan tahun 1988/1989 disebutkan bahwa jumlah pesantren di Indonesia pada abad ke-16 adalah 613 buah dan kini jumlahnya telah mencapai 6.631 buah dengan 958.670 orang santri dan 33.993 orang kyai. Perkembangan yang sangat pesat secara kuantitatif tersebut diduga disebabkan karena beberapa hal, antara lain:
a. Pada masa awal penyebaran islam, para ulama dan kyai mempunyai kedudukan yang kokoh di lingkungan kerajaan dan keraton, yaitu sebagai penasihat raja atau sultan. Oleh karena itu, pembinaan pesantren mendapat perhatian yang besar dari para raja dan sultan.
b. Pada masa kolonialisme, lembaga pendidikan yang dibangun pemerintah Hindia Belanda pada waktu itu hanya diperuntukkan pada golongan tertentu sehingga secara umum pesantren merupakan satu-satunya lembaga pendidikan bagi pribumi muslim.
c. Hubungan transportasi antara Indonesia dan Mekah semakin lancar sehingga memudahkan pemuda-pemuda islam dari Indonesia menuntut ilmu ke Mekah. Sekembalinya ke tanah air mereka biasanya mendirikan pesantren di daerah asalnya (Dewan Redaksi Ensliklopedi Islam, 1999:102).
Perkembangan pesantren secara kuantitatif ternyata tidak diimbangi dengan peningkatan secara kualitatif. Menurut Mastuhu (1994:23), sejak sekitar Dasawarsa terakhir pesantren mulai menurun harganya di mata masyarakat. Pesantren dianggap kurang mampu memenuhi aspirasi mereka dan tantangan pembangunan. Oleh karena itu, masyarakat memiliki hati mendua terhadap pesantren. Pada satu sisi mereka masih mengharapkan pesantren dapat membina mental spiritual anak-anaknya. Pada sisi lainnya, mereka tidak yakin pesantren dapat memberikan ilmu sebagai bekal hidup pada masa yang akan datang.
Boland (1985:128) melukiskan pergumulan tersebut dengan kata-kata:
Beberapa orang desa yang alim mengrimkan anak-anaknya kepada pesantren gaya lama. Pimpinan pesantren gaya lama itu mengirimkan anak-anaknya ke pesantren yang lebih modern. Para guru di pesantren modern itu mengirimkan anak-anaknya ke sekolah menengah negeri agar dapat melanjutkan sekolahnya ke universitas Islam. Para profesor di universitas Islam berusaha memperoleh tempat bagi anak-anaknya di universitas negeri. Dan para profesor di universitas negeri mengirimkan anak-anaknya ke luar negeri.
Pendapat Boland tersebut memang terlalu berlebihan, tetapi realitas bahwa pesantren tidak dapat memberikan ilmu sebagai bekal hidup pada masa yang akan datang, tidak dapat dipungkiri. Oleh karena itu, kemudian bermunculan pesantren yang memadukan ilmu agama Islam (ilmu yang bersumber dari nilai-nilai tanziliy) dengan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (ilmu yang bersumber dari nilai-nilai kauniy). Tujuan utamanya adalah mencetak generasi yang memiliki iman dan takwa (imtak) yang kokoh dan dapat menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek).
Berdasarkan perkembangan selanjutnya, pesantren dapat diklasfikasikan kepada empat jenis (Arifin, 1995:243), yaitu:
a. Pesantren salafi (tradisional), yaitu pesantren yang hanya memberikan materi agama kepada para santrinya. Tujuan pokok dari pesantren Islam di tengah masyarakatnya. Hal ini sesuai dengan latar belakang kemunculan pesantren dalam masyarakat (Surat At Taubah ayat 122). Pada pesantren ini, seorang santri hanya dididik dengan ilmu-ilmu agama dan tidak diperkenankan mengikuti pendidikan formal. Kalaupun ilmu-ilmu itu diberikan, maka hal itu hanya sebatas pada ilmu yang berhubungan dengan keterampilan hidup.
b. Pesantren ribathi, yaitu pesantren yang mengkombinasikan pemberian materi agama dengan materi umum. Biasanya, selain tempat pengajian, pada pesantren ini juga disediakan pendidikan formal yang dapat ditempuh oleh para santrinya. Tujuan pokok dari pesantren ini, selain untuk mempersiapkan kader da’i, juga memberikan peluang kepada para santrinya untuk mengikuti pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Dengan demikian, kelak mereka diharapkan dapat mengisi posisi-posisi strategis, baik di dalam pemerintah maupun di tengah masyarakat.
c. Pesantren khalafi (modern), yaitu pesantren yang didesain dengan kurikulum yang disusun secara baik untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Disebut khalafi karena berbagai perubahan yang dilakukan baik pada metode maupun materi pembelajaran. Para santri tiak hanya diberikan materi agama dan umum. Tetapi juga berbagai materi yang berkaitan dengan skill atau vocational (keterampilan).
d. Pesantren jami’i (asrama pelajar dan mahasiswa)., yaitu pesantren yang memberikan pengajian kepada pelajar atau mahasiswa sebagai suplemen bagi mereka. Dalam perspektif pesantren ini, keberhasilan santri dalam belajar di sekolah formal lebih diutamakan. Oleh karena itu, materi dan waktu pembelajaran di pesantren disesuaikan dengan luangnya waktu pembelajaran di sekolah formal.
Keempat jenis pesantren tersebut, sudah barang tentu memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Proses pembelajaran pesantren salafi lebih menonjol dalam penguasaan ilmu-ilmu tanziliy tetapi lemah dalam penguasaan ilmu-ilmu kauniy; pesantren ribathi membuka peluang kepada para santrinya untuk menjadi da’i dan penguasaan ilmu kauniy dengan mengikuti sekolah formal tetapi frekuensi waktu untuk penguasaan ilmu-ilmu tanziliy menjadi berkurang; pesantren khalafi lebih menekankan pembaharuan bagi para santrinya dan berorientasi pada peningkatan skill sehingga frekuensi waktu untuk penguasaan ilmu-ilmu tanziliy menjadi lebih berkurang; sedangkan proses pembelajaran pesantren pelajar/ mahasiswa sangat tergantung dengan keluangan dan batas waktu mereka dalam mengikuti pendidikan formal.
Dengan demikian, setiap jenis pesantren tersebut di atas pada akhirnya akan menimbulkan kesenjangan dalam penguasaan ilmu, baik ilmu yang bersumber kepada teks-teks tanziliyyah maupun ilmu, baik ilmu yang bersumber kepada teks-teks kauniyyah. Kesenjangan tersebut dapat dipahami, karena timbul dari orientasi tujuan pesantren yang berbeda serta frekuensi waktu yang dialokasikan dalam proses pembelajarannya. Secara ilustratif, perbedaan jenus pesantren dan kesenjangan penguasaan ilmu yang ditimbulkannya dapat digambarkan pada Gambar 2.1.
Penguasaan ilmu tanziliy Penguasaan ilmu kauniy
Frekuensi waktu
Gambar 2.1 Perbedaan Jenis Pesantren dalam Penguasaan Ilmu
Pada Gambar 2.1 terlihat bahwa kesenjangan dalam ilmu kauniy terjadi pada pesantren jenis salafi, selanjutnya pesantren ribathy dan khalafi. Adapun kesenjangan dalam penguasaan ilmu tanziliy terjadi pada pesantren jami’iy pesantren khalafi dan pesantren ribathy.
Berbeda dengan Arifin, Ziemek (1986: 104-108) membagi pesantren berdasarkan kelengkapan sarana dan fungsi dari pesantren tersebut. Atas dasar hal itu. Pesantren dibagi kepada lima jenis, yaitu:
a. Pesantren tarekat (pesantren kaum sufi), yaitu pesantren yang menyelenggarakan pengajian-pengajian yang teratur dalam masjid dengan sistem pengajaran yang bersifat pribadi. Di sini, beberapa orang santri diterima belajar dan berdiam di rumah kyai. Pesantren tarekat lebih menekankan kepada pendidikan santri dalam hubungannya dengan Allah swt. Dalam pesantren ini banyak diajarkan berbagai tahapan untuk mencapai derajat yang tinggi di sisi Allah swt. dengan berbagai kegiatan, seperti melaksanakan riyadhoh, dizikir dan lain sebagainya.
b. Pesantren klasik/tradisional, yaitu pesantren yang memiliki asrama bagi para santri yang sekaligus digunakan sebagai tempat tinggal dan tempat belajar yang sederhana. Komplek kediaman para santri sering terdiri dari rumah kayu/bambu untuk pemondokan maupun ruangan-ruangan belajar yang terpisah.
c. Pesantren plus sekolah, yaitu pesantren dengan komponen-komponen klasik yang dilengkapi dengan suatu madrasah (sekolah) yang menunjukkan adanya dorongan modernisasi dari pembaharuan Islam. Madrasah tersebut memiliki tingkatan kelas dan kurikulumnya berorientasi kepada sekolah-sekolah yang resmi.
d. Pesantren, sekolah plus pendidikan keterampilan, yaitu pesantren yang disamping menyelenggarakan sekolah, juga menyelenggarakan berbagai pendidikan keterempilan bagi para santri dan warga sekitarnya. Pendidikan keterampilan tersebut antara lain menjahit, teknik elektro yang sederhana, perbengkelan, pertukangan dan lain-lain.
e. Pesantren modern, yaitu pesantren yang mencakup pendidikan keislaman klasik dan semua tingkat sekolah formal dari sekolah dasar hingga universitas. Selain itu, pesantren jenis ini juga menyelenggarakan program pendidikan keterampilan. Program-program pendidikan yang berorientasi lingkungan mendapat prioritas utama dari pesantren ini.
Klasifikasi yang disodorkan Ziemek diatas, memang berdasarkan spektrum komponen pesantren. Akan tetapi klasikasi pesantren untuk mahasiswa dan pelajar tidak diungkap olehnya. Hal itu dapat dimaklumi karena pesantrenmahasiswa dan pelajar baru muncul pada dekade 80-an.
3. Pesantren dalam Perspektif Pendidikan Luar Sekolah
Coombs (Sudjana, 2001:22) membagi pendidikan kepada tiga jenis pendidikan, yaitu: pendidikan formal, pendidikan informal dan pendidikan non-formal. Ketiga jenis pendidikan memiliki perbedaan dari berbagai aspek.
Pendidikan formal merujuk kepada kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan secara sistematis, terstruktur, bertingkat dan berjenjang. Pendidikan ini dimulai dari tingkat sekolah dasar sampai dengan perguruan tinggi dan yang setaraf dengannya.
Adapun pendidikan informal merupakan proses yang berlangsung sepanjang usia sehingga setiap orang memperoleh nilai, sikap, keterampilan dan pengetahuan yang bersumber dari pengalaman hidup sehari-hari. Fakor lingkungan yang berpengaruh terhadap pendidikan informal adalah pengaruh kehidupan keluarga, hubungan dengan tetangga, lingkungan pekerjaan dan permainan, pasar, perpustakaan dan media massa.
Pendidikan non-formal ialah setiap kegiatan terorganisasi dan sistematis di luar sistem persekolahan yang mapan, dilakukan secara mandiri atau bagian penting dari kegiatan yang lebih luas, yang sengaja dilakukan untuk melayani peserta didik tertentu di dalam mencapai tujuan belajarnya.
Ketiga jenis pendidikan di atas digabung menjadi dua bagian, yaitu pendidikan sekolah (pendidikan formal) dan pendidikan luar sekolah yang mencakup pendidikan informal dan non-formal. Dengan demikian pendidikan luar sekolah bersifat lebih umum dan memiliki cakupan yang luas dalam kegiatan pembelajarannya.
Berdasarkan studi yang dilakukan oleh The Kellog Fellow (Sudjana, 2001:118), pendidikan luar sekolah memiliki tiga model pendekatan, yaitu model pelengkap (supplementary model), model sejajar (paralel model) dan model alternatif (alternative model). Model pelengkap menunjuk kepada kegiatan pendidikan luar sekolah yang dilaksanakan untuk menambah kemampuan peserta didik dalam masalah-masalah tertentu. Penyelenggaraan kegiatannya dilakukan di luar kegiatan pendidikan sekolah. Di Indonesia, pendidikan luar sekolah yang termasuk dalam kategori ini adalah bimbingan belajar siswa, pramuka dan yang lainnya. Model sejajar menunjuk pada penyelenggaraan pendidikan luar sekolah yang paralel dengan pendidikan sekolah. Kedua jenis pendidikan ini berjalan berdampingan dan saling menunjang antara yang satu dengan yang lainnya. Para peserta didik adalah mereka yang tidak memiliki kesempatan untuk mengikuti pendidikan sekolah. Contoh dari pendekatan ini adalah program SLTP Terbuka. Adapun model alternatif menunjuk kepada pendidikan luar sekolah sebagai alternatif pendidikan sekolah. Model ini memiliki kebebasan yang luas dalam mengembangkan sistem dan program-program pendidikan luar sekolah. Contoh dan pendekatan ini adalah berbagai kursus dan pelatihan yang diselenggarakan untuk mencapai tujuan tertentu.
Jika dilihat dari perspektif historis, kemunculan pesantren pada awalnya adalah sebagai alternatif pendidikan sekolah (alternative model). Hal ini terutama terlihat pada masa kolonialisme dimana pesantren justru menjadi lembaga yang mendidik pemuda-pemuda untuk bersikap non-kooperatif terhadap penjajah. Selain itu, pesantren sebagai alternatif pendidikan sekolah dapat muncul karena gagasan inovatif para pendirinya yang hendak mengembangkan model yang telah mereka rencanakan. Contoh dari model pesantren ini adalah pesantren modern Darussalam Gontor. Disebut model alternatif karena pesantren modern Darussalam Gontor menyelenggarakan sistem pendidikan yang mandiri, tidak mengikuti sistem pendidikan nasional. Sebagai konsekuensinya, ijazah yang dikeluarkan oleh pesantren tersebut pada awalnya tidak diakui oleh pemerintah Indonesia. Meskipun demikian, dengan keyakinan dan usaha yang keras, kini sistem pendidikan pesantren modern Gontor, bukan hanya diakui oleh pemerintah Indonesia tetapi juga diakui (mua’adalah) oleh lembaga pendidikan internasional, seperti Universias Al Azhar Mesir, Universitas Ummul Quro’ di Mekah, dan lain sebagainya (Suara Hidayatullah, Juli 2000).
Selain dapat berperan sebagai model alternatif, pesantren dapat juga berperan sebagai model sejajar (paralel model) atau bahkan sebagai model ditemukan pada pesantren-pesantren yang menggabungkan pendidikan umum dengan pendidikan Islam (ribathi). Model ini merupakan model ini adalah pesantren Guluk-guluk, pesantren Sukorejo, pesantren Blok Agung, pesantren Darul Ulum dan peasntren Pacitan. Pesantren-pesantren tersebut, selain menyelenggarakan pendidikan agama juga menyelenggarakan pendidikan umum (Mastuhu, 1994: 96-116).
Adapun model pelengkap, digunakan oleh pesantren-pesantren yang memiliki atau berdekatan dengan pendidikan sekolah. Pesantren ini biasanya bertujuan untuk memberikan pengetahuan kepada santri selama santri terebut belajar pada pendidikan sekolah tertentu. Pesantren dengan model ini dapat ditemukan pada pesantren-pesantren pelajar atau mahasiswa, seperti pesantren Ulil Albab dan Al Inayah di Bogor, pesantren Fi Dzilalil Qur’an di Bandung dan lain sebagainya.
Dari uraian diatas, dapat ditegaskan bahwa pesantren dapat memainkan ketiga model PLS yang disebut di atas. Efektivitas pemilihan ketiga model lingkungan yang melatarbelakanginya. Dengan demikian, ketiga model di atas sangat bersifat kondisional. Pada kondisi tertentu, model yang satu lebih baik daripada model yang lainnya, dan pada kondisi yang lain, model yang lainnya yang lebih baik.
Selain aspek model, beberapa teori pendidikan yang dijadikan pijakan dalam pembelajaran pendidikan luar sekolah, juga dikenal dalam kegiatan pembelajaran di pesantren. Teori pendidikan tersebut adalah perenialisme, progresivisme, esensialisme dan rekonstruksionalisme (Sudjana, 2001: 156-159).
Teori perenialisme menekankan bahwa tujuan pendidikan luar sekolah yang tidak mudah berubah dan kegiatan pembelajaran yang dilakukan secara berkelanjutan merupakan tuntutan mutlak bagi setiap upaya pendidikan. Lebih lanjut, teori ini menekankan bahwa penyelenggarakan pendidikan luar sekolah hendaknya didasarkan kepada enam faktor, yaitu:
a. Isi pendidikan luar sekolah, terutama yang menyangkut kebutuhan, harus diberikan sama kepada peserta didik. Hal ini didasarkan karena hakikat manusia adalah sama di setiap tempat, meskipun situasi lingkungannya berbeda-beda.
b. Setiap peserta didik harus dibantu untuk menggunakan akal pikirannya, baik dalam mengkaji alasan tentang suatu kenyataan dan tindakan, maupun untuk mengendalikan kehendak dirinya.
c. Setiap peserta didik harus dibantu dalam menemukan kebenaran melalui kegiatan pembelajaran.
d. Kegiatan pembelajaran pada pendidikan luar sekolah bukan merupakan suatu proses peniruan melainkan sebagai upaya persiapan untuk memasuki dan meningkatkan kualitas hidup peserta didik.
e. Peserta didik perlu mempelajari bahan-bahan belajar yang pokok yang berkaitan dengan alam dan lingkungan sekitar.
f. Peserta didik perlu mengkaji karya-karya besar yang telah mempengaruhi timbulnya aspirasi dan penemuan-penemuan besar yang telah dilakukan oleh manusia.
Progresivisme merupakan teori pendidikan yang lebih mengutamakan kegiatan belajar yang dilakukan melalui kerjasama dan partisipasi dalam kelompok serta penyesuaian yang dilakukan peserta didik terhadap lingkungan sosialnya. Oleh karena itu, kegiatan pembelajaran pendidikan luar sekolah hendaknya menerapkan enam prinsip pembelajaran, yaitu:
a. Belajar adalah bagian dari hidup itu sendiri.
b. Kegiatan belajar berhubungan erat dengan kebutuhan belajar dan minat peserta didik serta berpusat pada pesrta didik.
c. Kegiatan belajar tentang cara pemecahan masalah perlu dilakukan terlebih dahulu sebelum mempelajari materi pelajaran.
d. Peranan pendidik adalah untuk memberi dorongan dan bantuan sehingga peserta didik mampu merencanakan pengalaman yang akan ditempuhnya melalui kegiatan beajar.
e. Pendidik hendaknya mengembangkan semangat kerjasama, hubungan akrab dan saling menyenangi antar peserta didik.
f. Untuk mengembangkan tukar menukar gagasan dan pengalaman antar peserta didik di dalam proses pembelajaran, perlu diciptakan suasana yang demokratis.
Adapun teori esensialisme menitikberatkan terhadap pentingnya upaya pengkajian kurikulum yang dilakukan secara berlanjut. Selain itu, kewibawaan pendidik memegang pernana yang sangat penting dalam proses pembelajaran. Oleh karena itu, dalam perspektif teori ini, kurikulum dan pendidik merupakan dua komponen yang paling dominan dalam proses pembelajaran.
Teori rekonstruksionalisme menekankan adanya tanggungjawab sosial terhadap lembaga pendidikan dalam mewujudkan lahirnya masyarakat baru. Oleh karena itu, prinsip pembelajaran yang harus dilaksanakan adalah:
a. Pendidikan hendaknya melibatkan diri dalam pembentukan aturan-aturan masyarakat baru dan dalam mengembangkan nilai-nilai budaya baru.
b. Masyarakat baru yang dibentuk adalah masyarakat yang demokratis, adil dan damai serta pada akhirnya dapar mengelola semua lembaga dan sumber-sumber potensial untuk kemajuan mereka.
c. Lembaga pendidikan dan komponen-komponen pendidikan dikondisikan secara terus menerus atas dasar nilai-nilai sosial budaya masyarakat baru tersebut.
d. Kelompok belajar merupakan bagian yang amat penting dalam proses pembelajaran.
e. Pendidik memiliki tugas untuk memotivasi peserta didik dalam memilih bahan dan sumber belajar yang cocok dalam kegiatan belajar dan untuk melakukan pemecahan masalah melalui cara belajar secara demokratis.
f. Tujuan yang dirumuskan dan berbagai cara pencapaiannya senantiasa ditata ulang sehingga dapat memenuhi perkembangan budaya dan perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi.
Jika keempat konsep di atas (perenialisme, progresivisme, esensialisme dan kontruktivisme) digunakan sebagai pisau analisis membedah proses pembelajaran di pesantren, maka akan ditemukan realitas mengenai keterpaduan keempat konsep tersebut dalam proses pembelajaran yang dilaksanakan di pesantren. Konsep perenialisme menunjuk kepada realitas tujuan pesantren yang tidak mudah berubah dan kegiatannya yang dilakukan secara berkelanjutan. Meskipun selama ini belum ada rumusan tertulis mengenai tujuan pesantren, tetapi dapat dikatakan bahwa tujuan dari lembaga ini adalah menciptakan dan mengembangkan kepribadian muslim, yaitu kepribadian yang beriman dan bertakwa kepada Allah swt., berakhlak mulia, bermanfaat bagi masyarakat dengan jalan menjadi abdi masyarakat sebagaimana kepribadian Nabi Muhammad, mampu berdiri sendiri (mandiri), bebas dan teguh dalam kepribadian, menegakkan Islam dan kejayaan Islam di tengah-tengah masyarakat dan mencintai ilmu dalam rangka mengembangkan kepribadian Indonesia (Mastuhu, 1994: 55-56). Dari perspektif tujuan, pesantren memiliki tujuan yang kokoh karena bukan hanya didasarkan kepada kepentingan kelembagaan, tetapi dilandasi oleh nilai-nilai agama. Tujuan yang kokoh ini, pada gilirannya melahirkan berbagai kegiatan yang tidak pernah lekang oleh waktu. Selain itu, kegiatan yang dilaksanakan juga sejalan dengan prinsip-prinsip pembelajaran perenialisme tersebut di atas.
Adapun dari perspektif progresivisme, proses pembelajaran di pesantren dipandang sangat mengutamakan kegiatan belajar yang dilakukan secara berkelompok. Hal itu terlihat dari teknik pembelajaran yang digunakan di pesantren seperti bandingan dan musyawarah. Selain itu, dalam sistem pendidikan pesantren, murid/santri dipandang sebagai sebuah amanah. Oleh karena itu, para kyai selalu menaruh perhatian dan mengembangkan watak pendidikan individu murid/santri. Mereka diperhatikan tingkah laku moralnya secara teliti. Mereka diperlakukan sebagai makhluk yang terhormat. Kepada mereka ditanamkan kewajiban dan tanggungjawab untuk melestarikan dan menyebarkan pengetahuan mereka tentang Islam kepada orang lain, mencurahkan waktu dan tenaga untuk belajar terus menerus sepanjang hidup (Dhofier, 1994: 21-22).
Dari perspektif esensialisme, proses pembelajaran di pesantren sangat didominasi oleh kewibawaan kyai. Hal itu karena kyai merupakan contoh nyata berperilaku bagi para murid/santri. Begitu pula dengan kurikulum yang digunakan. Kebanyakan pesantren memiliki kesamaan rujukan yang digunakan (Mastuhu, 1994: 170-173). Hal ini terjadi karena jika seorang kyai berguru pada suatu pesantren, maka ketika dia membuka pesantren baru, dia akan banyak menggunakan rujukan yang telah dipelajarinya, sehingga banyak pesantren yang memiliki kesamaan dalam kurikulumnya.
Adapun dari perspektif teori rekonstruksionalisme, lembaga pendidikan pesantren dipandang telah mampu membangun nilai-nilai baru dalam masyarakat. Bahkan dalam beberapa kasus, para kyai menjadi inovator dan pelopor perubahan dalam masyarakatnya sendiri (Horikoshi, 1987).
Dari berbagai uraian di atas nampak jelas bahwa pesantren bukan hanya sekedar pendidikan luar sekolah, tetapi merupakan pendorong budaya baru dalam masyarakat Islam. Dengan perkataan lain, peranan yang dimainkan oleh pesantren tidak hanya terbatas dalam kegiatan pembelajaran masyarakat, tetapi juga berperan dalam perubahan masyarakat.
Posting Komentar